Kerajaan Mataram Islam merupakan salah satu kerajaan besar yang pernah berjaya di tanah Jawa pada abad ke-16 hingga ke-18. Berdiri di wilayah pedalaman Jawa Tengah, Mataram Islam berperan penting dalam sejarah politik, budaya, dan agama di Nusantara, khususnya dalam penyebaran Islam di Jawa. Kerajaan ini dikenal sebagai salah satu kekuatan besar yang menantang dominasi kolonial VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) Belanda, sekaligus sebagai pusat kebudayaan yang melahirkan tradisi-tradisi yang masih hidup hingga saat ini.
Awal Berdirinya Kerajaan Mataram Islam
Kerajaan Mataram Islam didirikan oleh Sutawijaya pada akhir abad ke-16. Sutawijaya, yang kemudian dikenal dengan gelar Panembahan Senapati, merupakan pendiri dan raja pertama kerajaan ini. Ia memulai langkahnya sebagai seorang panglima bawahan dari kerajaan Pajang yang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya. Setelah kematian Sultan Hadiwijaya, Sutawijaya berhasil mengonsolidasi kekuatan dan mendirikan kerajaan sendiri di wilayah Mataram, sebuah daerah yang berada di sekitar Yogyakarta saat ini.
Kerajaan Mataram Islam tumbuh menjadi kekuatan besar berkat kecerdikan politik, kekuatan militer, serta dukungan rakyat. Panembahan Senapati mampu memperluas wilayah kerajaan dengan menaklukkan beberapa kerajaan kecil di sekitarnya, termasuk Demak, yang sebelumnya merupakan pusat kekuatan Islam di Jawa.
Kejayaan di Bawah Sultan Agung
Puncak kejayaan Kerajaan Mataram Islam terjadi pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613–1645). Sultan Agung dikenal sebagai salah satu raja terbesar dalam sejarah Nusantara karena kesuksesannya memperluas wilayah kerajaan, meningkatkan kemakmuran ekonomi, dan memperkuat pengaruh Islam di Jawa. Di bawah pemerintahannya, Mataram Islam meliputi hampir seluruh wilayah Jawa, dari Jawa Tengah hingga sebagian Jawa Barat dan Jawa Timur.
Sultan Agung juga terkenal dengan usahanya untuk menentang kekuasaan VOC di Batavia (Jakarta sekarang). Pada tahun 1628 dan 1629, ia melancarkan dua kali serangan besar-besaran ke Batavia, meskipun kedua serangan tersebut berakhir dengan kegagalan. Meski begitu, perlawanan Sultan Agung terhadap VOC menunjukkan keberaniannya dalam melawan kolonialisme, yang kemudian menjadi inspirasi bagi generasi-generasi selanjutnya dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda.
Di bidang budaya, Sultan Agung juga meninggalkan warisan yang berharga. Ia memperkenalkan kalender Jawa, yang merupakan perpaduan antara kalender Islam dan kalender Hindu-Buddha, serta mendorong perkembangan seni dan sastra Jawa yang berpadu dengan nilai-nilai Islam.
Pembagian Kerajaan Mataram dan Kemunduran
Setelah Sultan Agung wafat, Kerajaan Mataram mulai mengalami kemunduran. Pengganti Sultan Agung, yaitu Amangkurat I (1646–1677), dikenal sebagai raja yang lemah dan tidak mampu mempertahankan kejayaan Mataram seperti pada masa ayahnya. Ia terlibat dalam banyak konflik internal dengan keluarga kerajaan dan para bangsawan, yang menyebabkan ketidakstabilan politik di dalam kerajaan.
Pada masa Amangkurat II (1677–1703), Kerajaan Mataram semakin terpuruk akibat intervensi VOC. Amangkurat II terpaksa memindahkan ibu kota kerajaan dari Plered ke Kartasura karena pemberontakan Trunajaya (1674–1679), yang didukung oleh Madura dan Makassar. Pada saat ini, pengaruh VOC semakin kuat, dan Mataram semakin bergantung pada kekuatan militer Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya.
Puncak kemunduran Mataram terjadi pada tahun 1755 dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti. Perjanjian ini membagi Kerajaan Mataram menjadi dua bagian: Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Pembagian ini dilakukan atas campur tangan VOC yang ingin mengendalikan kekuatan Mataram yang semakin melemah. Selanjutnya, pada 1813, berdirilah Kadipaten Pakualaman, dan akhirnya, pada 1817, Kadipaten Mangkunegaran, yang menjadikan Mataram terpecah menjadi empat bagian.
Pengaruh dan Warisan Mataram Islam
Meskipun mengalami kemunduran dan akhirnya runtuh, pengaruh Mataram Islam dalam sejarah Jawa dan Indonesia tetap terasa hingga saat ini. Beberapa aspek penting dari warisan Mataram Islam antara lain:
- Penyebaran Islam: Mataram Islam berperan besar dalam memperkuat pengaruh Islam di pedalaman Jawa. Islam yang disebarkan di Mataram kemudian menjadi bagian integral dari identitas budaya Jawa.
- Seni dan Sastra: Kerajaan Mataram menjadi pusat perkembangan seni dan sastra Jawa. Kesenian tradisional seperti wayang kulit dan gamelan berkembang pesat di bawah patronase kerajaan. Tradisi kesusastraan Jawa, seperti serat dan babad, juga banyak dipengaruhi oleh kerajaan ini.
- Sistem Pemerintahan Feodal: Mataram Islam memperkuat sistem pemerintahan feodal di Jawa, yang membagi kekuasaan antara raja dan para bangsawan. Sistem ini terus bertahan hingga masa kolonial dan memberikan pengaruh besar terhadap struktur sosial di Jawa.
- Kerajaan yang Berkelanjutan: Meskipun Mataram Islam sebagai kerajaan tunggal runtuh, keturunan kerajaan ini tetap eksis dalam bentuk Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Bahkan hingga saat ini, Kesultanan Yogyakarta tetap menjadi bagian penting dari sistem pemerintahan Indonesia dengan status istimewanya sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kerajaan Mataram Islam adalah salah satu kerajaan besar di Nusantara yang memainkan peran penting dalam sejarah politik, agama, dan budaya di tanah Jawa. Kejayaan Mataram Islam mencapai puncaknya di bawah pemerintahan Sultan Agung, yang membawa kerajaan ini menjadi kekuatan besar di Jawa dan simbol perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Meskipun kerajaan ini akhirnya runtuh dan terpecah, pengaruh dan warisan Mataram Islam tetap hidup dalam budaya, agama, dan pemerintahan Jawa hingga saat ini.