Sejarah indonesia - materisejarah.com

Sejarah Indonesia mencakup periode yang sangat lama dan dimulai sejak zaman prasejarah, berdasarkan penemuan “Manusia Jawa” 1,7 juta tahun yang lalu. Dalam sejarah Indonesia, ada lima periode yang berbeda. Yang pertama adalah era prakolonial atau kerajaan, di mana kerajaan Hindu-Buddha dan Islam muncul di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan dan bergantung pada perdagangan. Yang kedua adalah era kolonial, di mana orang Eropa (terutama Belanda, Portugis, dan Spanyol) masuk dengan keinginan untuk rempah-rempah, yang menyebabkan penjajahan Belanda selama sekitar 350 tahun dari awal abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20. Yang ketiga adalah era kemerdekaan awal

Prasejarah

Secara geologi, wilayah Indonesia modern, yang biasanya disebut “Nusantara”, terbentuk dari pertemuan tiga lempeng benua utama: Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik. Untuk informasi lebih lanjut, lihat artikel Geologi Indonesia. Sekitar 10.000 tahun yang lalu, ketika Zaman Es berakhir, es meleleh, menciptakan kepulauan Indonesia saat ini.

Pemukim pertama datang pada masa Pleistosen, ketika masih terhubung dengan Asia Daratan. Fosil Homo erectus manusia Jawa dari 2 juta hingga 500.000 tahun lalu adalah bukti pertama yang menunjukkan penghuni awal. Penemuan sisa-sisa “manusia Flores” (Homo floresiensis) di Liang Bua, Flores, membuktikan bahwa H. erectus masih ada di sana hingga Zaman Es terakhir.

Diperkirakan Homo sapiens pertama tiba di Nusantara sejak 100.000 tahun yang lalu melewati jalur pantai Asia dari Asia Barat. Pada sekitar 60.000 hingga 70.000 tahun yang lalu, mereka tiba di Pulau Papua dan Australia. Mereka adalah nenek moyang penduduk asli Melanesia (termasuk Papua saat ini), yang membawa kultur kapak lonjong (Paleolitikum). Fenotipe kulit mereka gelap dan rambut mereka ikal rapat. Sejak 3000 SM, pendatang berbahasa Austronesia dengan kultur Neolitikum datang dari Cina Selatan melalui Formosa dan Filipina, membawa kultur beliung persegi yang dikenal sebagai kebudayaan Dongson. Migrasi ini adalah bagian dari pendudukan Pasifik.

Era Kerajaan-Kerajaan di Nusantara

Sejarah awal

Para ilmuwan India telah menulis tentang Dwipantara, yang merupakan kerajaan Hindu Jawa Dwipa di Pulau Jawa dan Sumatra, juga dikenal sebagai Swarna Dwipa, sekitar tahun 200 SM. Ada bukti fisik awal yang menunjukkan adanya empat kerajaan Hinduisme pada abad pertama dan kelima, seperti Kerajaan Salakanagara di Jawa Barat sekitar tahun 130 SM, dan Kerajaan Kandis di Sumatra. Pada abad ke-4 dan ke-5, kerajaan baru seperti Kerajaan Taruma mulai muncul. Ajaran Buddha mencapai wilayah tersebut pada tahun 425.

Dengan warisan peradaban ratusan tahun, Nusantara memiliki dua kekaisaran besar: Sriwijaya di Sumatra pada abad ke-7 hingga 14 dan Majapahit di Jawa pada abad ke-13 hingga 16, bersama dengan puluhan kerajaan kecil yang seringkali menjadi vassal negara tetangga yang lebih kuat atau saling terhubung dalam semacam hubungan perkawinan dan perdagangan (seperti di Maluku). Ini telah terjadi sebelum Renaisans di Eropa Barat pada abad ke-16.

Kerajaan Hindu-Buddha

Kerajaan Hindu-Buddha Kerajaan Tarumanagara muncul di Jawa Barat dari abad ke-4 hingga abad ke-7, dan Kerajaan Sunda muncul di Sumatra dari abad ke-7 hingga abad ke-14. Sekitar tahun 670-an, penjelajah Tiongkok I-Tsing mengunjungi Palembang, yang merupakan ibu kota Sriwijaya. Sriwijaya memiliki kendali atas wilayah sepanjang Jawa Barat dan Semenanjung Melayu ketika ia paling kuat. Majapahit, sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, muncul di bawah kerajaan Sriwijaya juga. Pemerintahan Majapahit dari 1331 hingga 1364. Hampir seluruh Semenanjung Melayu dan sebagian besar wilayah saat ini dikuasai oleh Gajah Mada. Kodifikasi hukum dan kebudayaan Jawa berasal dari masa Gajah Mada, seperti yang terlihat dalam cerita Ramayana.

Kerajaan Kesultanan Islam

Sekitar abad ke-12, kesultanan muncul di Indonesia dan membangun bangsa. Namun, sebenarnya Islam sudah masuk ke Indonesia pada abad ke-7, di tengah jalur pelayaran internasional yang ramai melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Tiongkok, Sriwijaya di Asia Tenggara, dan Bani Umayyah di Asia Barat.

Sumber-sumber Cina dari Dinasti Tang menyatakan bahwa menjelang akhir perempatan ketiga abad ke-7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin permukiman Muslim Arab di pesisir pantai Sumatra. Selain itu, sistem politik saat ini dipengaruhi oleh Islam. Ini terlihat ketika Raja Sriwijaya Jambi Srindrawarman menulis surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah pada tahun 100 H (718 M), meminta mubalig yang dapat mengajarkan Islam kepadanya. Surat tersebut berisi: “Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang isterinya adalah cucu seribu raja, yang kandang binatangnya memiliki seribu gajah, dan di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, wewangian, pala, dan kapur barus yang wanginya menyebar hingga 12 mil, kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan Allah dengan tuhan-tuhan lain. Saya telah mengirimkan hadiah kepada Anda; itu hanyalah bukti persahabatan daripada hadiah yang signifikan. Saya meminta Anda mengirimkan seseorang yang dapat mengajarkan saya Islam dan menerangkan hukum-hukumnya.”Dua tahun kemudian, pada tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang sebelumnya beragama Hindu, menjadi Islam. Disebut sebagai “Sribuza Islam”, Sriwijaya Jambi diserang oleh Sriwijaya Palembang, yang masih menganut agama Buddha, pada tahun 730 M.

Islam terus berkembang menjadi institusi politik yang mempromosikan agama tersebut. Misalnya, Kesultanan Peureulak, yang didirikan pada 1 Muharram 225 H atau 12 November 839 M, adalah kesultanan Islam. Kesultanan Ternate juga. Pada tahun 1440, agama Islam memasuki kerajaan Kepulauan Maluku ini.

Pada akhir abad ke-16, kesultanan Islam semakin menyebarkan berbagai ajarannya ke penduduk dan melalui pembauran, menggantikan Hindu dan Buddha sebagai kepercayaan utama di Jawa dan Sumatra, hanya Bali yang mempertahankan mayoritas Hindu. Pada abad ke-17, rohaniawan Kristen dan Islam mulai aktif di kepulauan-kepulauan di Timur, dan saat ini ada mayoritas besar dari kedua agama di sana.

Penyebaran Islam dilakukan melalui hubungan perdagangan di luar Nusantara. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa para penyebar dakwah atau mubalig adalah utusan dari negara-negara Muslim yang datang dari luar Indonesia, dan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri dan keluarga mereka, para mubalig ini menyebarkan Islam kepada para pedagang dari penduduk pribumi, yang pada gilirannya memeluk Islam dan kemudian menyebarkan Islam kepada penduduk lainnya. Ada sejumlah kerajaan Islam yang signifikan, termasuk Kesultanan Demak, Kerajaan Djipang, Kerajaan Samudera Pasai, Kesultanan Banten, yang memiliki hubungan diplomatik dengan negara-negara Eropa, Kesultanan Mataram, Kesultanan Iha, Kesultanan Gowa, Kesultanan Gorontalo, Kesultanan Ternate, dan Kesultanan Tidore di Maluku.

Era kolonial

Kolonialisme Portugal dan Spanyol

Afonso de Albuquerque adalah orang yang membuat Nusantara dikenal oleh orang Eropa dan dimulai oleh Portugis bersama dengan bangsa Eropa lainnya, terutama Britania Raya dan Belanda, serta Spanyol.

Armada Portugis mengarungi Samudra Atlantik dari Sungai Tajo ke Atlantik. Perjalanan ini memakan waktu sebulan hingga tiga bulan, dan melewati Tanjung Harapan di Afrika menuju Selat Malaka. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan ke Kepulauan Maluku untuk mencari rempah-rempah, yang pada saat itu dianggap setara dengan emas.

Menurut Teresa, “Pada abad ke-16 saat petualangan itu dimulai, para pelaut negeri Katolik biasanya diberkati oleh pastor dan raja sebelum berlayar melalui Sungai Tagus.” Biara St. Jeronimus, juga dikenal sebagai Mosteiro Dos Jeronimos, didirikan oleh Raja Manuel I pada tahun 1502, pada tahun yang sama Vasco da Gama memulai perjalanannya ke timur.

Museum Maritim (Portugis: Museu de Marinha) didirikan pada 22 Juli 1863 oleh Raja Luis I untuk mengenang sejarah laut Portugis.

Museum itu memiliki lukisan Afonso de Albuquerque selain patung di taman. Lukisan itu bertuliskan, “Gubernur India 1509-1515.” pusat pemerintahan Portugis India di Ormuz, Goa, dan Malaka. pemimpin kebijakan untuk kekuatan laut sebagai pusat kerajaan. Museum itu juga menampilkan berbagai barang perdagangan Portugis, termasuk gundukan lada atau merica.

Ada banyak alasan Kerajaan Portugis melakukan perjalanan ke timur. Dalam buku Indonesia-Portugal: Lima Abad Perhubungan Sejarah (Cepesa, 2002), arkeologi Islam dan ahli sejarah Uka Tjandrasasmita mengatakan bahwa ada banyak alasan Kerajaan Portugis untuk datang ke Asia. Ekspansi itu dapat diringkas dalam tiga kata Portugis: Feitoria, Fortaleza, dan Igreja. Kata-kata ini mirip dengan kata emas, kemuliaan, dan gospel. Emas, kekayaan, gereja atau perdagangan, dominasi militer, dan penyebaran agama Katolik adalah arti harfiahnya.

Uka mengatakan bahwa arsitek utama ekspansi Portugis ke Asia adalah Albuquerque, Gubernur Portugis Kedua dari India Portugis, kerajaan Portugis di Asia. Ia memulai perjalanan langsung ke Malaka dari Goa, dan tiba di sana awal Juli 1511 dengan 15 kapal besar dan kecil serta 600 tentara. Pada 10 Agustus 1511, dia dan pengikutnya mengalahkan armada Malaka. Portugis kemudian menguasai perdagangan rempah-rempah dari Asia ke Eropa. Setelah menguasai Malaka, ekspedisi yang dipimpin oleh Antonio de Abreu mencapai Maluku, yang merupakan pusat perdagangan rempah-rempah.

Periode ketika Portugis menguasai Nusantara

Sekitar tahun 1511-1526, Nusantara menjadi pelabuhan penting bagi Kerajaan Portugis untuk transportasi laut ke Sumatra, Jawa, Banda, dan Maluku.

Pada 1511, Portugis mengalahkan Kerajaan Malaka.Kemudian Portugis tiba di Pelabuhan Sunda pada tahun 1522 untuk menandatangani perjanjian dagang dengan Raja Sunda, yang ditandatangani pada 21 Agustus 1522. Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal didirikan pada hari yang sama di lokasi yang sekarang menjadi sudut Jalan Cengkih dan Jalan Kali Besar Timur I di Jakarta Barat. Perjanjian ini memungkinkan Portugis membangun benteng atau gudang di Sunda Kelapa.

Pada tahun 1512, sebuah ekspedisi dipimpin oleh Antonio de Abreu oleh Afonso de Albuquerque yang mencari kepulauan rempah-rempah. Ekspedisi tersebut terdiri dari dua kapal dan sebuah karavel.

Komunitas lokal di Nusantara, terutama di Flores, Solor, dan Maluku, masih mempertahankan ingatan tentang kehadiran Portugis di perairan dan kepulauan Indonesia. Kampong Tugu terletak di antara Kali Cakung, pantai Cilincing, dan tanah Marunda di Jakarta. Orang-orang di kampung tersebut menyebut diri mereka “orang Portugis” karena mereka percaya bahwa mereka berasal dari bangsa Portugis.

Pada tahun 1512, Portugis adalah negara Eropa pertama yang menemukan Maluku. Pada saat itu, dua kapal Portugis, dipimpin oleh Antonio de Abreu dan Fransisco Serrao, mendarat di Kepulauan Banda dan Kepulauan Penyu. Setelah mereka bersahabat dengan orang-orang dan raja-raja setempat, seperti Kerajaan Ternate di pulau Ternate, Portugis diberi izin untuk membangun benteng di Pikaoli, yang terletak di antara Negeri Hitu Lama dan Mamala di Pulau Ambon sekarang. Namun, hubungan dagang rempah-rempah ini tidak lama bertahan karena Portugis membuat sistem monopoli dan menyebarkan agama Kristen, yang membuat mereka tidak disukai.

Fransiskus Xaverius adalah salah satu misionaris terkenal. Ttiba di Ambon pada tahun 1546, kemudian pergi ke Ternate. Persahabatan antara Portugis dan Ternate berakhir pada tahun 1570, dan Portugis menyerah kepada Sultan Baabullah pada akhir tahun 1575.:

Perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis dimanfaatkan oleh Belanda untuk masuk ke Maluku. Pada tahun 1605, Belanda memaksa Portugis untuk menyerahkan pertahanannya di Ambon kepada Steven van der Hagen dan di Tidore kepada Sebastiansz Cornelisz. Demikian pula, Belanda menghancurkan benteng Inggris di Kambelo, Pulau Seram. Sejak saat itu, Belanda berhasil menguasai sebagian besar wilayah Maluku.

Setelah VOC didirikan pada tahun 1602, Belanda memperkuat kekuasaan mereka di Maluku. Perdagangan cengkih di Maluku sepunuhnya diawasi VOC selama sekitar 350 tahun di bawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen, Gubernur-Jenderal VOC. Untuk keperluan ini, VOC dengan cepat menghancurkan pesaingnya, seperti Portugis, Spanyol, dan Inggris. Bahkan ribuan orang Maluku dibunuh oleh kejahatan VOC.

Tahun 1511, mereka membangun benteng di Ternate, dan tahun 1512, mereka membangun benteng di Amurang di Sulawesi Utara. Setelah Portugis kalah dalam perang dengan Spanyol, Sulawesi Utara diambil alih oleh Spanyol (1560–1660). Kerajaan Spanyol kemudian bergabung dengan Kerajaan Portugis. Armada dagang VOC datang pada abad ke-17 dan berhasil mengusir Portugis dari Ternate. Setelah itu, Portugis mundur dan mengambil alih Timor Timur pada tahun 1515.

Sekitar abad ke-15, kolonialisme dan imperialisme mulai menyebar di Indonesia. Ini dimulai dengan pendaratan Portugis dan Belanda di Malaka pada tahun 1596 untuk berdagang dan mencari rempah-rempah.

Garis waktu kolonialisme Eropa di Indonesia

Kolonialisme Spanyol

Kolonialisme Spanyol mendarat di Sulawesi Utara pada tahun 1521 dan mendirikan pos di Manado pada tahun 1560. Pada tahun 1617, orang Minahasa di Sulawesi Utara melakukan perlawanan untuk mengusir kolonial Spanyol.
1646: Orang Spanyol meninggalkan Minahasa dan Sulawesi Utara. Tahun berikutnya, Spanyol terus mencoba memaksa kerajaan-kerajaan di sekitarnya untuk mengambil kembali Minahasa, tetapi mereka gagal, dan Bolaang Mongondow mendukungnya pada tahun 1692.

Kolonialisme Portugis dari tahun 1509 hingga 1520

1509: Orang-orang Portugis pertama kali tiba di Melaka.
April 1511: Laksamana Portugis Alfonso de Albuquerque memutuskan untuk berlayar dari Goa ke Malaka. Pada 10 Agustus, pasukan Albuquerque mengambil alih Melaka.
Mahmud Syah, sultan Melaka, melarikan diri ke Riau; Portugis di Melaka menghancurkan armada kesultanan Demak di Jawa; dan Pati Unus menguasai Jepara.
Di bawah pimpinan Antonio de Abreu, tiga kapal dikirim oleh Albuquerque dari Melaka untuk berlayar ke arah Timur pada tahun 1512. Ekspedisi itu menuju Madura, Bali, Lombok, Aru, dan Banda, tetapi dua kapal rusak di Banda. Da Breu kembali ke Melaka, tetapi Francisco Serrão pergi ke Ambon, Ternate, dan Tidore. Dia mendukung Ternate dalam perselisihannya dengan Tidore, dan pasukannya mendirikan sebuah pos Portugis di Ternate.

1513: Pasukan Jepara dan Palembang menyerang Portugis di Melaka, tetapi mereka gagal. Seorang duta Portugis dikirim ke Pajajaran untuk bertemu dengan Raja Sunda pada bulan Maret. Portugis diberi izin untuk membangun sebuah benteng di Sunda Kelapa, yang sekarang dikenal sebagai Jakarta.
Raja Udara, anak dari Girindrawardhana dan penguasa kerajaan Majapahit sebelumnya, dihubungi oleh Portugis untuk membangun pabrik di Ternate dan Bacan.
Dengan bantuan Raja Klungkung dari Bali, udara menyerang Demak. Pasukan Majapahit mundur, tetapi Sunan Ngudung tewas dalam pertempuran. Banyak orang yang menentang Majapahit melarikan diri ke Bali. Pada tahun 1514, Ali Mughayat Syah mendirikan Kesultanan Aceh dan menjadi sultan pertamanya.
Tahun 1515, orang Portugis pertama kali tiba di Timor.

1518, Sultan Mahmud dari Melaka mengambil alih Johor.
Sultan Demak menjadi Pati Unus setelah Raden Patah meninggal.
1520: Aceh mengambil alih pantai timur laut Sumatra.
Orang-orang dari Bali menyerang Lombok.
Para pedagang Portugis mulai melakukan perjalanan ke Flores dan Solor.
Kesultanan Islam muncul di Kalimantan.


1521–1530: Pada tahun 1521, Adipati Unus mengetuai pasukan dari Demak dan Cirebon untuk melawan orang-orang Portugis di Melaka. Ia tewas dalam pertarungan. Sultan Demak adalah Renggono.
Portugis mengambil alih Pasai Sumatra.
Sunan Gunung Jati, yang berasal dari Cirebon, meninggalkan Pasai untuk menuju Mekkah.
Ekspedisi Magelhaens terakhir menggunakan kapal yang berlayar antara pulau Lembata dan Pantar di Nusa Tenggara.

Februari 1522: Pasukan Portugis di bawah pimpinan De Brito tiba di Banda.
Mei: Ekspedisi De Brito membangung benteng Portugis di Ternate.
Kerajaan Sunda, yang penduduknya sebagian besar Hindu, meminta bantuan Portugis untuk mengantisipasi serangan Islam Demak. Sisa ekspedisi Magelhaens yang mengunjungi Timor didirikan di Sunda Kelapa dan kontrak kerja sama ditandatangani.
Di Hitu, Ambon, Portugis membangun benteng.
Dalam tahun 1523, Sunan Gunung Jati pulang dari Mekkah, kembali ke Cirebon, dan menikahi saudara perempuan Sultan Trenggono. Dia kemudian tinggal di Demak.

Dalam tahun 1524, Sunan Gunung Jati dari Cirebon dan anaknya Hasanuddin (dari Banten) berdakwah di Jawa Barat, baik secara terbuka maupun secara rahasia. Tujuannya adalah untuk melemahkan Kerajaan Sunda, yang beribu kota di Pajajaran, dan hubungannya dengan Portugis. Pemerintah Banten, yang sebelumnya bergantung pada Pajajaran, menjadi Islam dan bergabung dengan Cirebon dan Demak.

Aceh mengambil alih Pasai dan Pedir di Sumatera Utara.
1525, Hasanuddin (dari Banten), yang merupakan anak dari Gunungjati (dari Cirebon), berdakwah di Lampung. 1526, Portugis membangun benteng pertama di Timor. 1527 Sunan Kudus ikut serta ketika Sultan Demak menaklukkan Kediri, bekas kerajaan Majapahit Hindu.Tuban diambil alih oleh Demak.
Dibantu oleh Demak, Cirebon menduduki pelabuhan Kerajaan Sunda, Sunda Kelapa. Ini tidak mungkin untuk mengubah namanya menjadi Jayakarta. (Meskipun disebut sebagai nama berkat pimpinan Fatahillah, penjaga keamanan pelabuhan Kerajaan Sunda diminta untuk meninggalkan wilayah pantai.) Oleh karena itu, perjanjian dagang antara Portugis dengan Kerajaan Sunda tidak memungkinkan untuk membangun gudang atau benteng.
Kyai Pratanu membawa kerajaan Palakaran di Madura, yang berbasis di Arosbaya (kini Bangkalan), ke agama Islam.
Ekspedisi dari Spanyol dan Meksiko berusaha mengeluarkan Portugis dari Maluku.

1529, Madiun diambil alih oleh Demak.
Perjanjian Zaragoza dibuat antara raja Spanyol dan Portugal yang menetapkan bahwa Portugal memiliki Maluku dan Spanyol memiliki Filipina.
1530: Salahuddin menjabat sebagai Sultan Aceh.
Demak mengambil alih Surabaya dan Pasuruan. Kesultanan Gowa mulai berkembang dari Makassar setelah Demak merebut Kerajaan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur Jawa.
Banten semakin menguasai Lampung.
1531–1540: Sebuah serangan besar dari Portugis ke Johor pada tahun 1536.
Antonio da Galvão menjabat sebagai gubernur di Ternate dan mendirikan pos Portugis di Ambon.
Sultan Tabariji diusir dari Ternate ke Goa oleh Portugis karena diduga melakukan tindakan anti-Portugis. Portugis menggantikannya dengan saudara-saudaranya.

1537: Aceh mencoba menyerang Melaka, tetapi tidak berhasil. Tahun 1539, Alaudin Riayat Syah I menggantikan Salahuddin. Pada tahun itu, Aceh menyerang suku Batak di wilayah selatan mereka.
Kesultanan Butung didirikan pada tahun 1540 sebagai hasil dari hubungan diplomatik Portugis dengan Gowa.
1541–1550: Pada tahun 1545, Demak mengambil alih Malang. Pada tahun 1546, Demak mencoba menyerang Blambangan, tetapi tidak berhasil. Gowa membangun benteng di Ujung Pandang.
Prawata menggantikan Tenggono dari Demak setelah dia meninggal. Joko Tingkir memperluas kekuasaan dari Pajang (dekat Sukoharjo sekarang).
St. Francis Xaverius mengunjungi Manado dan Kema.

1547 Aceh menyerang Malaka. 1549 Sunan Prawata meninggal, dan Arya Penangsang menggantikan Prawata sebagai sultan Demak. 1550 Portugis mulai membangun benteng di Flores. Namun, ketika Arya Penangsang meninggal pada tahun 1554, kesultanan Demak runtuh.
1551–1560: Pada tahun 1551, Johor melakukan serangan terhadap Portugis Melaka dengan bantuan kapal Ratu Kalinyamat dari Jepara.
Dengan bantuan Portugis, pasukan Ternate menguasai Kesultanan Jailolo di Halmahera.
Dalam tahun 1552, Hasanuddin meninggalkan Demak dan membentuk Kesultanan Banten. Kemudian dia memperoleh Lampung untuk kesultanannya yang baru.
Aceh mengirim utusan ke Istanbul untuk Sultan Suleiman I Utsmaniyah.
1558, Leiliato memimpin tentara dari Ternate untuk menghancurkan penduduk Portugis di Hitu.
Di Bacan, Portugis membangun benteng.
Joko Tinggir, yang memerintah Pajang, memberikan distrik Mataram kepada Ki Ageng Pemanahan.
Epidemi cacar di Ternate.

1559 adalah tahun ketika para misionaris Portugis tiba di Timor. Sultan Ternate adalah Khairun.
1560: Portugis membangun pos misi dan perdagangan di Panarukan di ujung timur Jawa, dan Spanyol membangun pos di Manado.
1561–1570: Pada tahun 1561, misi Dominika Portugis didirikan di Solor. Pada tahun 1564, wabah cacar muncul di Ambon. Pada tahun 1565, Aceh menyerang Johor.
1566, Kutai di Kalimantan menjadi kesultanan. 1568, Aceh menyerang Portugis di Melaka, dan Portugis membangun benteng batu di Solor. 1569, Portugis membangun benteng kayu di pulau Ambon.

1570: Aceh mencoba menyerang Johor lagi, tetapi tidak berhasil.
Sultan Khairun dari Ternate menandatangani perjanjian damai dengan Gubernur Lopez de Mezquita, tetapi Sultan Hairun dibunuh oleh agen Portugis. Baabullah menjadi Sultan Ternate hingga tahun 1583, dan dia bersumpah untuk menghancurkan pertahanan Portugis.
Sultan Banten adalah Maulana Yusuf.
1571–1590: Alaudin Riyat Shah meninggal pada tahun 1571, menyebabkan kekacauan di Aceh hingga tahun 1607.
1574: Jepara memimpin serangan ke Melaka yang tidak berhasil.
1575: Sultan Babullah mengalahkan Portugis dari Ternate. Oleh karena itu, Portugis membangun benteng di Tidore. Kemudian, pada tahun 1576, mereka membangun benteng di kota Ambon sekarang.
1577, Ki Ageng Pemanahan mendirikan Kota Gede, yang terletak dekat dengan Yogyakarta sekarang.

1579, Banten menyerang dan menghancurkan Pajajaran, mengambil bagian dari kerajaan Sunda yang tersisa, dan melakukan Islamisasi. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana, raja Sunda terakhir yang menolak memeluk Islam, meninggalkan ibu kota Kerajaan Sunda dan melarikan diri ke Banten.

Pada bulan November, Sir Francis Drake dari Britania tiba di Ternate setelah menyerang kapal dan pelabuhan Amerika Spanyol. Sultan Babullah, yang membenci orang-orang Spanyol, mengadakan perjanjian persahabatan dengan Britania Raya.
Pada tahun 1580, Maulana Muhammad diangkat menjadi Sultan Banten.
Di bawah Raja Philip II, kerajaan Spanyol mengambil alih Portugal, tanpa memperhatikan upaya kolonial Portugis.
Setelah kembali ke Britania, Drake melakukan perjalanan ke Jawa dan Sulawesi.
Butung dimiliki oleh Ternate.

Sekitar tahun 1581, Kyai Ageng Pemanahan mengambil alih distrik Mataram yang telah dijanjikan kepadanya oleh Joko Tingkir, yang menunda pengambilan keputusan hingga Sunan Kalijaga dari Wali Songo mendesaknya. Dia kemudian mengubah namanya menjadi Kyai Gedhe Mataram.
1585, Sultan Aceh mengirim surat kepada Elizabeth I dari Britania Raya. Sutawijaya menggantikan ayahnya, Kyai Gedhe Mataram, sebagai gubernur Mataram.
Kapal Portugis yang dikirim ke Bali untuk membangun benteng dan misi karam di lepas pantai.
Sutawijaya mengalahkan Pajang pada tahun 1587, dan Joko Tingkir meninggal. Setelah itu, putranya beralih ke Sutawijaya. Gunung Merapi berkobar.
Johor diserang oleh Portugis dari Melaka.
Sultan Aceh dan Portugis menandatangani perjanjian perdamaian.
Sir Thomas Cavendish dari Inggris melakukan perjalanan ke Jawa.

Tahun 1588, Sutawijaya mengubah namanya menjadi Panembahan Senopati, dan dia mengambil alih Pajang dan Demak. Pada tahun 1590, Desa Asli Medan didirikan.
1591–1659: Pada tahun 1591, Senopati mengambil alih Madiun dan kemudian mengambil alih Kediri.
Meskipun Sir James Lancaster dari Britania tiba di Aceh dan Penang, misinya tidak berhasil.
Ternate menyerang kembali Portugis di Ambon pada tahun 1593.
2 April 1595, ekspedisi Belanda yang dipimpin oleh De Houtman berangkat ke Hindia Belanda.
Suriansyah menciptakan kesultanan Banjar di Kalimantan (kemudian dikenal sebagai Banjarmasin).
Dalam tahun 1654, orang Minahasa memberikan izin kepada Belanda untuk membangun pabrik di Manado, dan Portugis membangun benteng di Ende, Flores.

Kolonisasi VOC

Mulai tahun 1602, Kongsi dagang VOC, yang didirikan di Republik Belanda, bersaing dengan kerajaan Portugal dan Spanyol untuk mendominasi perdagangan rempah di Hindia Timur (Nusantara). Mereka secara bertahap menjadi penguasa wilayah yang sekarang adalah Indonesia dengan memanfaatkan konflik dan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan kecil yang menggantikan Majapahit. VOC berhasil menghapus kongsi dagang EIC yang didirikan oleh kerajaan Inggris di Bengkulu hingga 1824. Satu-satunya koloni Portugal di abad ke-20 adalah Timor Portugis, yang tetap dikuasai Portugal hingga 1975 ketika bergabung dengan Indonesia sebagai provinsi Timor Timur.

Pada tahun 1700-an dan 1800-an, perusahaan dagang bernama VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) menguasai Hindia Belanda, bukan pemerintah Belanda secara langsung. Pada tahun 1602, Parlemen Belanda memberikan VOC hak monopoli atas perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut. Markasnya berada di Batavia, yang sekarang dikenal sebagai Jakarta.

Kongsi Dagang VOC dan pemerintah kolonial Belanda mendominasi Indonesia selama hampir 350 tahun (dari 1602 hingga 1945), kecuali untuk sementara waktu ketika sebagian kecil dari Indonesia dikuasai oleh Britania setelah Perang Jawa Britania-Belanda, yang merupakan perpanjangan dari perang Napoleonik di Eropa, dan ketika Jepang menjajah Indonesia selama Perang Dunia II. Selama VOC menguasai wilayah nusantara, banyak orang di sana menderita karena monopoli, konflik, dan pajak yang dikenakan oleh perusahaan terbuka terbesar dalam sejarah. Setelah VOC bangkrut pada tahun 1799, kerajaan Belanda mengambil alih aset nusantara dan membentuk pemerintahan kolonial. Setelah itu, Belanda mulai membangun Hindia Belanda menjadi salah satu negara kolonial terkaya di dunia. Sebagian orang menganggap penjajahan Belanda selama 350 tahun tidak cukup karena mereka menguasai banyak wilayah Indonesia, seperti Aceh dan Papua yang baru saja ditaklukkan Belanda pada akhir 1800-an.

VOC ingin mempertahankan monopolinya atas perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Ini dicapai melalui penggunaan kekerasan terhadap penduduk kepulauan penghasil rempah-rempah dan orang non-Belanda yang mencoba berdagang dengan mereka. Sebagai contoh, ketika penduduk Kepulauan Banda terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, Belanda membunuh atau mendeportasi sebagian besar orang di sana. Setelah itu, Belanda menempatkan penduduk pulau-pulau tersebut dengan budak atau pembantu yang bekerja di perkebunan pala.

Pada saat ini, VOC mulai terlibat dalam politik internal Jawa dan bertempur dalam beberapa peperangan dengan pemimpin Mataram dan Banten.

Kolonisasi pemerintah Belanda

Era Napoleon (1800-1811)

Setelah kegagalan VOC dan pembubaran pada akhir abad ke-18, tepatnya pada 1 Januari 1800, Hindia Belanda jatuh ke tangan Prancis setelah kekalahan Belanda dalam Perang Eropa. Namun, Hindia Belanda tetap menjadi negara kesatuan Republik Belanda (hingga 1806) dan kemudian negara kesatuan Kerajaan Hollandia (hingga 1810). Sejak saat itu, perang perebutan kekuasaan antara Prancis (Belanda) dan Britania Raya dimulai ditandai dengan peralihan kekuasaan di beberapa wilayah Hindia Belanda dan perjanjian, seperti Persetujuan Amiens hingga Kapitulasi Tuntang.

Gubernur Jenderal Overstraten, Wiese, Daendels, dan Janssens bertanggung jawab atas Hindia Belanda selama periode ini. Pada masa Daendels, Jalan Raya Pos atau Jalan Anyer-Panarukan, yang sekarang dikenal sebagai jalur Pantura, dibangun. Kemudian, mereka meluaskan wilayah jajahan mereka hingga Lampung, tetapi mereka kehilangan Ambon, Ternate, dan Tidore, yang direbut oleh Britania Raya. Setelah Prancis mengambil alih Belanda pada tahun 1810, bendera Prancis dikibarkan di Batavia, dan Daendels kembali ke Eropa untuk berperang dengan Napoleon. Karena Britania Raya di bawah Lord Minto merebut Jawa dari Belanda-Prancis, pengganti Janssens tidak lama memerintah.

Interregnum Britania Raya (1811–1816)

Setelah Britania mengambil alih Jawa, pemerintahan beralih dari Belanda ke Britania hingga perang Napoleon berakhir pada tahun 1816, ketika Britania harus mengembalikan Hindia Belanda ke Kerajaan Belanda. Sementara Lord Minto menjadi Gubernur Jenderal pertama di India, Raffles diangkat menjadi Wakil Gubernur untuk memimpin Jawa. Raffles kemudian membenahi pemerintahan Jawa sesuai dengan sistem pemerintahan Inggris.

Pemerintahan Raffles membuat banyak penemuan penting, termasuk penemuan kembali Candi Borobudur—salah satu candi Buddha terbesar di dunia—dan letusan Gunung Tambora di Sumbawa, yang menewaskan puluhan ribu orang secara langsung dan tidak langsung.

Pemerintahan Kerajaan Belanda (mulai tahun 1816)

Setelah Kongres Wina mengakhiri Perang Napoleon dan mengembalikan Jawa ke Belanda, pemerintah Kerajaan Belanda berkuasa penuh atas wilayah Hindia Belanda pada 16 Agustus 1816. Undang-Undang Kerajaan Belanda tahun 1814 kemudian diubah pada tahun 1848, 1872, dan 1922 sesuai dengan perkembangan wilayah tersebut hingga 1942, ketika Jepang menyerbu dalam Perang Dunia II.

Selama periode ini, terjadi pemberontakan besar di Jawa dan Sumatra. Pemberontakan ini dikenal sebagai Perang Diponegoro, atau Perang Jawa, dari tahun 1825 hingga 1830, dan Perang Padri, dari tahun 1821 hingga 1837, antara lain, dan banyak perang lainnya. Sistem tanam paksa, yang dalam bahasa Belanda disebut cultuurstelsel, mulai digunakan setelah tahun 1830. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil perkebunan seperti teh, kopi, dll., yang menjadi permintaan pasar global pada saat itu. Tanaman itu kemudian diekspor ke negara lain. Para pelaksana (Belanda dan Indonesia) sistem ini sangat kaya. Setelah 1870, sistem tanam paksa ini dihapus oleh pemerintah.

Pada tahun 1901, Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut Politik Etis (bahasa Belanda: Ethische Politiek), yang melibatkan peningkatan dana untuk pendidikan asli dan sedikit perubahan politik. Pemerintah Hindia Belanda di bawah gubernur-jenderal J.B. van Heutsz memperluas kekuasaan kolonial mereka di seluruh Hindia Belanda. Ini adalah awal dari negara Indonesia saat ini.

Gerakan nasionalisme

Serikat Dagang Islam didirikan pada tahun 1905 dan diikuti oleh Budi Utomo pada tahun 1908. Setelah Perang Dunia I, Belanda mengambil tindakan penindasan. Para pemimpin nasionalis berasal dari kelompok kecil pelajar dan profesional muda, beberapa di antaranya telah belajar di Belanda. Banyak dari mereka yang dipenjara karena melakukan kegiatan politik, salah satunya adalah Presiden Indonesia pertama, Soekarno.

Perang Dunia II

Jerman Nazi menduduki Belanda pada Mei 1940, di awal Perang Dunia II. Di Juli, Hindia Belanda mengumumkan keadaan siaga dan mengalihkan ekspor untuk Jepang ke AS dan Inggris. Di bulan Juni 1941, kesepakatan dengan Jepang untuk mendapatkan bahan bakar pesawat gagal, dan di bulan Desember tahun itu, Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara. Di bulan yang sama, Jepang membantu faksi Sumatra melakukan revolusi untuk memerangi pemerintahan Belanda. Pada Maret 1942, Jepang mengalahkan pasukan Belanda yang terakhir.

Pendudukan Jepang

Pada Juli 1942, Soekarno menerima tawaran Jepang untuk mengadakan kampanye publik dan membangun pemerintahan yang juga dapat menangani kebutuhan militer Jepang. Pada tahun 1943, Kaisar Jepang menghormati Soekarno, Mohammad Hatta, dan para Kyai. Namun, pengalaman dengan penguasaan Jepang di Indonesia sangat beragam tergantung pada status sosial dan tempat tinggal seseorang. Siksaan, perbudakan seks, penahanan dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya terjadi pada penduduk yang tinggal di wilayah yang dianggap penting dalam peperangan. Dalam strategi penguasaan Jepang, orang Belanda dan orang campuran Indonesia-Belanda ditargetkan.

Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada Maret 1945. Pada pertemuan pertamanya di bulan Mei, Soepomo berbicara tentang integrasi nasional dan melawan individualisme. Sementara itu, Muhammad Yamin mengusulkan bahwa negara baru itu harus mengklaim Sarawak, Sabah, Malaya, Portugis Timur, dan seluruh Hindia Belanda sebelum perang.

Soekarno, Hatta, dan Radjiman Widjodiningrat diterbangkan ke Vietnam pada 9 Agustus 1945 untuk bertemu dengan Marsekal Terauchi. Dilaporkan bahwa pasukan Jepang akan hancur, tetapi Jepang ingin kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.

Era kemerdekaan

Proklamasi kemerdekaan

Pada 16 Agustus, Soekarno membacakan “Proklamasi” pada hari berikutnya setelah mendengar kabar bahwa Jepang tidak lagi dapat membuat keputusan seperti itu. Pasukan militer Indonesia pada masa perang, Pasukan Pembela Tanah Air (PETA), dan kelompok muda langsung berangkat untuk mempertahankan rumah Soekarno, sementara berita tentang proklamasi menyebar melalui radio dan selebaran.

Dengan menggunakan konstitusi yang dibuat beberapa hari sebelumnya, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menunjuk Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden pada 18 Agustus 1945. Hingga pemilu dilakukan, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dibentuk sebagai parlemen sementara. Pada tanggal 31 Agustus, kelompok ini mendeklarasikan pemerintahan baru dan menginginkan Republik Indonesia yang terdiri dari delapan provinsi: Sumatra, Kalimantan (bukan wilayah Sabah, Sarawak, dan Brunei), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku (bukan Papua) dan Nusa Tenggara.

Perang kemerdekaan

Persatuan Kelautan Australia, yang bersimpati dengan perjuangan untuk kemerdekaan, melarang semua pelayaran Belanda dari 1945 hingga 1949. Hal ini dilakukan agar Belanda tidak dapat mendapatkan dukungan logistik dan pasokan yang diperlukan untuk membentuk kembali kekuasaan kolonial.

Keinginan Belanda untuk kembali berkuasa dihadapi dengan keras. Setelah pasukan Belanda kembali ke Jawa, mereka segera mengambil kembali ibu kota kolonial Batavia, dan para nasionalis menjadikan Yogyakarta sebagai ibu kota mereka. Setelah empat tahun perundingan dan peperangan, Ratu Juliana dari Belanda memberikan kedaulatan kepada pemerintah Federal Indonesia pada 27 Desember 1949 (lihat artikel tentang tanggal pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda). Indonesia menjadi anggota PBB ke-60 pada tahun 1950.

Demokrasi parlementer

Tidak lama setelah itu, Indonesia mengadopsi undang-undang baru yang terdiri dari sistem parlemen di mana dewan eksekutif dipilih dan bertanggung jawab kepada parlemen, atau MPR. MPR terbagi menjadi partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga sulit untuk membentuk koalisi pemerintah yang stabil.

Peran Islam di Indonesia menjadi kompleks. Sementara beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan negara Islam atau undang-undang yang memasukkan sebuah bagian yang membuat orang Islam takluk kepada hukum Islam, Soekarno memilih negara sekuler. Demokrasi Parlementer menempatkan badan legislatif di atas badan eksekutif. Perdana menteri dan menteri kabinet diangkat dan diberhentikan oleh parlemen. Perdana menteri adalah kepala pemerintahan. Presiden adalah kepala negara dalam demokrasi parlementer.

Demokrasi terpimpin

Pemberontakan yang gagal di Sumatra, Sulawesi, Jawa Barat, dan pulau lainnya sejak tahun 1958, dikombinasikan dengan ketidakmampuan MPR untuk membuat konstitusi baru, melemahkan sistem parlemen Indonesia. Pada tahun 1959, Presiden Soekarno secara unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang besar, dan dia tidak menghadapi banyak hambatan.

Selama periode 1959–1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang disebut sebagai “Demokrasi Terpimpin”. Selain itu, dia mengubah kebijakan luar negeri Indonesia ke arah non-blok, yang didukung oleh para pemimpin negara-negara bekas jajahan yang menentang aliansi resmi dengan Blok Barat dan Uni Soviet. Untuk membangun fondasi untuk Gerakan Non-Blok, para pemimpin tersebut berkumpul dalam KTT Asia-Afrika di Bandung, Jawa Barat, pada tahun 1955.

Pada akhir 1950-an dan awal 60-an, Soekarno lebih dekat dengan negara komunis Asia dan Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. PKI adalah kekuatan komunis terbesar ketiga di dunia, setelah Uni Soviet, Tiongkok, dan AS.

Nasib Irian Barat

Pemerintah Belanda mengontrol belahan barat pulau Nugini (Papua) selama perjuangan kemerdekaan. Setelah perundingan Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949, diputuskan bahwa status belahan barat Nugini (Papua) akan diperdebatkan setahun setelah kedaulatan ditransfer dari Kolonial Belanda ke Republik Indonesia Serikat. Namun, setelah perundingan Meja Bundar tercapai, Kolonial Belanda di Nugini diizinkan untuk memulai pemerintahan-sendiri dan mendeklarasikan kemerdekaan mereka sendiri.

Pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda gagal mencapai kata sepakat tentang penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia. Pada 1961 dan 1962, terjadi pertempuran antara pasukan Indonesia dan Belanda, dan pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian. Amerika Serikat memaksa Belanda untuk melakukan perundingan tertutup dengan Indonesia, yang menghasilkan Perjanjian New York pada Agustus 1962.

Konfrontasi Indonesia—Malaysia

Soekarno menentang pembentukan Federasi Malaysia, menganggapnya sebagai “rencana neo-kolonialisme” yang bertujuan untuk memudahkan upaya komersial Inggris di kawasan tersebut. Selain itu, dianggap bahwa pembentukan Federasi Malaysia akan meningkatkan pengaruh imperialisme negara-negara Barat di Asia dan membuat celah bagi Inggris dan Australia untuk mempengaruhi perpolitikan regional Asia. Presiden Soekarno menanggapi keputusan PBB untuk mengakui kedaulatan Malaysia dan menjadikannya anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Pada 20 Januari 1965, dia mengumumkan keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB dan mendirikan Konferensi Kekuatan Baru (CONEFO) dan GANEFO sebagai pesaing PBB. Selain itu, pertempuran kemudian terjadi pada tahun itu antara pasukan Indonesia dan Malaysia, yang dibantu oleh Inggris.

Gerakan 30 September

Hingga tahun 1965, PKI telah menguasai banyak organisasi massa yang didirikan Soekarno untuk mendukung rezimnya. Dengan izin Soekarno, mereka memulai kampanye untuk membentuk “Angkatan Kelima” dengan mempersenjatai pendukung mereka. Militer menentang hal ini.

Mayjen Soeharto, yang saat itu bertugas sebagai Panglima Komando Strategi Angkatan Darat, menumpas kudeta yang ditujukan kepada para pengawal istana yang setia kepada Republik Komunis Indonesia (PKI) pada 30 September 1965, dan berbalik melawan PKI. Soeharto kemudian menggunakan keadaan ini untuk mengambil alih kekuasaan. Setelah itu, lebih dari puluhan ribu orang didakwa sebagai komunis. Pada tahun 1966, setidaknya 500.000 orang tewas; korban paling parah terjadi di Jawa dan Bali.

Era Orde Baru

Salah satu tindakan pertama Soeharto sebagai presiden adalah mendaftarkan kembali Indonesia sebagai anggota PBB. Pada tanggal 19 September 1966, Indonesia menyatakan bahwa “bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB”. Indonesia kembali menjadi anggota PBB pada tanggal 28 September 1966, 16 tahun setelah diterima pertama kali.

Soeharto secara resmi dilantik sebagai presiden oleh MPR pada tahun 1968 untuk masa jabatan lima tahun. Dia kemudian dilantik kembali sebagai presiden pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.

Presiden Soeharto memulai “Orde Baru” dalam politik Indonesia dan secara signifikan mengubah kebijakan dalam dan luar negeri dari jalan yang dia ambil pada akhir masa jabatannya. Tujuan utama Orde Baru adalah perbaikan dan perkembangan ekonomi (Pelita). Mereka menerapkan kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer, tetapi dengan saran dari pakar ekonomi Barat. Kebijakan-kebijakan ini dan pengeksploitasian sumber daya alam yang massif menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa di Indonesia selama pemerintahannya. Namun, pertumbuhan tersebut tidak merata. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, misalnya, ada penurunan yang signifikan dalam jumlah orang yang kelaparan.

Irian Jaya

Pada tahun 1969, pemerintah Indonesia menerapkan “Aksi Pilihan Bebas”, atau “Aksi Pilihan Bebas”, di Irian Jaya setelah menolak pengawasan dari PBB. 1.025 wakil gubernur dipilih dan dilatih dalam bahasa Indonesia. Mereka akhirnya setuju untuk bergabung dengan Indonesia. Setelah itu, resolusi Sidang Umum PBB memastikan bahwa otoritas berpindah ke Indonesia. Pada tahun-tahun setelah perpindahan kekuasaan, penolakan terhadap pemerintahan Indonesia memicu aktivitas gerilya kecil. Setelah 1998, ada banyak pernyataan yang lebih jelas yang menginginkan kemerdekaan Indonesia.

Timor Timur

Dari tahun 1596 hingga 1975, Timor Timur adalah jajahan Portugis. Itu dikenal sebagai Timor Portugis, dan Laut Timor memisahkan pulau dari pesisir utara Australia. Pejabat Portugal meninggalkan Timor Timur dengan cepat pada tahun 1975 sebagai akibat dari peristiwa politik yang terjadi di Portugal. Fretilin, partai yang dipimpin sebagian oleh Marxis, dan Uni Demokrasi Timor (UDT) menjadi partai terbesar dalam pemilu lokal pada tahun 1975, setelah membentuk aliansi untuk mengkampanyekan kemerdekaan dari Portugal.

Operasi Seroja adalah nama operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Indonesia di Timor Timur pada 7 Desember 1975. Indonesia berharap untuk mendapatkan lebih banyak cadangan minyak dan gas alam, serta lokasi strategis, dengan memiliki Timor Timur. Mereka mendapatkan dukungan diplomatik dan material serta persenjataan dari Amerika Serikat dan Australia.

Pada awalnya, ABRI membunuh hampir 200.000 warga Timor Timur melalui pembunuhan dan kelaparan. Saat Timor Timur menjadi bagian dari wilayah Indonesia, banyak pelanggaran HAM terjadi.

Dalam pemungutan suara yang diadakan oleh PBB pada 30 Agustus 1999, sekitar 99% penduduk Timor Timur ikut serta, dengan 3/4-nya memilih untuk merdeka. Segera setelah publikasi hasilnya, dilaporkan bahwa militer Indonesia terus melakukan kerusakan di Timor Timur, merusak infrastruktur.

Pada Oktober 1999, MPR membatalkan dekret 1976 yang mengintegrasikan Timor Timur ke wilayah Indonesia. Kemudian, Otorita Transisi PBB (UNTAET) memerintah Timor Timur, yang mendapatkan kemerdekaan penuh pada Mei 2002.

Krisis ekonomi

Dengan musim kemarau terburuk dalam lima puluh tahun terakhir dan penurunan harga minyak, gas, dan komoditas ekspor lainnya yang semakin meningkat, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia pada pertengahan 1997. Inflasi meningkat tajam, perpindahan modal meningkat, dan harga rupiah jatuh. Pada awalnya dipimpin oleh mahasiswa, para demonstran meminta pengunduran diri Soeharto. Tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, di tengah kemarahan massa yang luas dan ribuan mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR. Setelah itu, Soeharto memilih B. J. Habibie sebagai presiden ketiga Indonesia.

Era reformasi

Pemerintahan Habibie

Presiden Habibie dengan cepat membentuk kabinet. Mendapatkan kembali dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi merupakan tugas penting. Selain itu, dia melepaskan tahanan politik dan mengurangi pengawasan atas kebebasan berpendapat dan organisasi.

Pemerintahan Gus Dur

Pada 7 Juni 1999, pemilihan dilakukan untuk MPR, DPR, dan DPRD. PDI Perjuangan yang dipimpin oleh putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri, memenangkan pemilu parlemen dengan 34% dari seluruh suara. Golkar, yang merupakan partai Soeharto yang selalu menang dalam pemilu-pemilu sebelumnya, memperoleh 22%, Partai Persatuan Pembangunan yang dipimpin Hamzah Haz memperoleh 12%, dan Partai Kebangkitan Bangsa yang dipimpin Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memperoleh 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati Pada awal November 1999, Gus Dur membentuk Kabinet Persatuan Nasional, dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000.

Di tengah kondisi yang sulit, pemerintahan Presiden Wahid melanjutkan demokratisasi dan kemajuan ekonomi. Selain masalah ekonomi yang persisten, pemerintahannya juga menghadapi konflik etnis dan agama, terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah kemanusiaan dan sosial yang serius ditimbulkan oleh penduduk Timor Timur yang tidak memiliki tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan oleh militan Timor Timur pro-Indonesia. MPR semakin menunjukkan tekanan untuk menentang kebijakan Presiden Gus Dur, yang menghasilkan perselisihan politik yang rumit.

Pemerintahan Megawati

Presiden Gus Dur memberikan laporan pertanggung jawabannya pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000. Ribuan orang menyerbu MPR pada 29 Januari 2001 dan meminta Presiden mengundurkan diri karena terlibat dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan MPR untuk meningkatkan manajemen dan koordinasi pemerintahannya, dia mengirimkan keputusan presiden kepada wakil presiden Megawati, yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari. Tak lama kemudian, Megawati menjadi presiden. Kabinet Megawati dikenal sebagai Kabinet Gotong Royong.

Pemerintahan ini mengalami kesulitan besar pada tahun 2002 ketika Mahkamah Internasional mengeluarkan Pulau Sipadan dan Ligitan dari NKRI.

Pemerintahan SBY

Pada tahun 2004, pemilu terbesar sepanjang masa di dunia diadakan dalam satu hari. Hasilnya menunjuk Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yang kemudian membentuk Kabinet Indonesia Bersatu. Pada awal masa jabatannya, pemerintah ini menghadapi banyak kesulitan besar. Beberapa di antaranya adalah gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004, yang menghancurkan sebagian besar Aceh, dan gempa bumi lain pada awal 2005, yang menghancurkan Sumatra.

Pada 17 Juli 2005, pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka mencapai kesepakatan bersejarah untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung selama 30 tahun di wilayah Aceh.

Pemerintahan Joko Widodo

Setelah memenangkan Pemilu 2014, Presiden Joko Widodo dilantik di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 20 Oktober 2014. Jabatan Presiden Indonesia Joko Widodo telah memasuki periode kedua. Ia adalah presiden ke-7 Indonesia.Partai politiknya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), menyatakan dukungan penuh terhadap kepresidenannya.

Selama kampanyenya, Jokowi menghadapi banyak masalah, terutama yang berkaitan dengan suku, agama, ras, dan aliran (SARA).

Tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi terus meningkat, berkisar antara 60 dan 70 persen setelah empat tahun menjabat. Hasil penghitungan cepat menunjukkan bahwa Jokowi diperkirakan menerima suara 54 persen dalam pemilihan presiden, tetapi Prabowo menyatakan bahwa perhitungan tim kampanyenya sendiri menunjukkan bahwa dia menerima suara 62 persen.

By nlusw